اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَلله أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اَللهُ أَكْبَرُ،اَللهُ أَكْبَرُ وَ للهِ الْحَمْدُ. اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلاً. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَه، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَ للهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ للهِ حَمْداً كَثِيْراً،
وَالله أَكْبَرُ كَبِيْراً، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. اَلله
أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ. اَلله أَكْبَرُ خَلَقَ الْخَلْقَ
وَأَحْصَاهُمْ عَدَداً. اَلله أَكْبُرُ وُكُلُّهُمْ آتِيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فَرْداً. اَلْحَمْدُ للهِ كَثِيْراً وَاللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً، وَسُبْحَانَ
اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَهُ الْحَمْدُ كَمَا يُحِبُّ وَيَرْضَى عَلَى
آلاَئِهِ وَنِعَمِهِ الَّتِيْ لاَ تُعَدُّ وَلاَ تُحْصَى. أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ
الْحَمْدُ، يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. وَأَشْهَدُ
أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسَوُلُهُ، نَبِيُّهُ الْمُصْطَفَى،
وَرَسُوْلُهُ الْمُجْتَبَى، صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ
أَجْمَعِيْنَ، وَعَلَى مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إلِىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَلَيْنَا
وَعَلَى عِبَادِ الله الصَّالِحِيْنَ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ. وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ. فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. أَمَّا بَعْدُ.
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ
الْفَرِحُوْنَ بِعِيْدِ الْفِطْرِ! أُوْصِيْنِيْ وَإِيَّاكُمْ اَنِ اتَّقُوْا
اللهَ. كَمَا قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَقَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا
رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. وَقَالَ تَعَالَى: يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا.
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
الله
اكبر الله اكبر الله اكبر، لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد
Alhamdulillah, kita ucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah
menganugerahkan aneka kenikmatan jasmani dan ruhani kepada kita semua; terutama
tiga anugerah utama di bulan Ramadhan sebagaimana yang dinyatakan dalam
al-Qur’an:
وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ (البقرة: 185).
Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (Q.S. al-Baqarah [2]: 185).
Pertama, kesuksesan menyempurnakan bulan Ramadhan dengan
beragam amal ibadah wajib seperti puasa dan zakat fitrah; maupun ibadah sunah
seperti shalat tarawih, tadarus al-Qur’an, sahur, berbagi derma, hingga i’tikaf.
Kedua, umur yang berkah dan sehat wal afiyat, sehingga berkesempatan
untuk menggemakan takbir sejak malam Idul Fitri hingga pagi ini. Ketiga,
mensyukuri nikmat Ilahi melalui perayaan Idul Fitri yang sarat dengan nuansa
kebahagiaan, baju baru dan aneka hidangan khas lebaran; kendati masih ada
kewaspadaan terkait pandemi yang berkepanjangan. Oleh sebab itu, khatib
berpesan kepada diri sendiri dan para jamaah, mari kita tingkatkan kualitas ketakwaan
kepada Allah SWT, dengan cara melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan
meninggalkan larangan-larangan Allah SWT; secara istiqamah sepanjang hayat,
agar kelak kita wafat dalam keadaan iman, Islam, Ihsan dan husnul-khatimah. Amin
ya Rabbal ‘Alamin.
الله
اكبر الله اكبر الله اكبر، لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد
Idul Fitri berarti
kembali ke fitrah atau kembali suci, yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam
Sunan al-Nasa’i layaknya bayi yang baru dilahirkan ibundanya:
إِنَّ
اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ، وَسَنَنْتُ
لَكُمْ قِيَامَهُ. فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، خَرَجَ مِنْ
ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
(رواه النسائي).
Sesungguhnya Allah
Tabaraka wa Ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan kepada kalian dan aku (Nabi SAW) menyunahkan
shalat malam di bulan Ramadhan. Maka barangsiapa berpuasa dan shalat malam di
bulan Ramadhan, dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah, niscaya dia
keluar dari dosa-dosanya (dalam keadaan suci) bagaikan bayi yang baru
dilahirkan oleh ibundanya
(H.R. al-Nasa’i).
Tugas
kita setelah berakhirnya bulan suci Ramadhan adalah mempertahankan kesucian
tersebut, bahkan berusaha mengembangkannya, sebagaimana diisyaratkan oleh
penamaan bulan Syawwal yang berarti ‘peningkatan’. Ada tiga dimensi dalam
kehidupan kita sebagai umat muslim, yang penting untuk terus-menerus disucikan dan
dikembangkan pasca Ramadhan, yaitu akidah, syariah dan akhlak.
الله
اكبر الله اكبر الله اكبر، لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد
Pertama,
Menyucikan dimensi akidah melalui amal shalih. Dari 62 kata al-shalihat
(الصَّالِحَات) dalam
al-Qur’an, seluruhnya dihubungankan dengan keimanan, sehingga seringkali kita
membaca ayat al-Qur’an yang berbunyi ‘الَّذِينَ
آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ’. Redaksi
ini mengisyaratkan bahwa keimanan itu harus dibuktikan, disirami dan dipupuk
dengan amal shalih.
Prinsip
beribadah adalah sesuai kemampuan nyata (realistis), tidak perlu menunggu
kondisi serba sempurna (idealis). Misalnya, entah malas atau tidak, kita tetap
wajib untuk berpuasa Ramadhan. Entah khusyu’ atau tidak, kita tetap wajib untuk
mendirikan shalat lima waktu. Entah ikhlas atau tidak, kita tetap wajib
mengeluarkan zakat. Hal ini selaras dengan perintah al-Qur’an,
اِنْفِرُوا
خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ (التوبة: 41).
Berangkatlah kamu baik
dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan
dirimu di jalan Allah (Q.S. al-Taubah [9]:
41).
Atau dalam kalam hikmah Imam al-Syafi’i yang populer,
سِيْرُوا
إِلَى اللهِ عُرُجاً وَمَكَاسِيْرَ ، فَإِنَّ انْتِظَارَ الصِّحَّةِ بَطَالَةٌ
Berjalanlah menuju
Allah dalam keadaan pincang maupun tercabik-cabik; karena sesungguhnya menunggu
sehat itu pengangguran semata.
الله
اكبر الله اكبر الله اكبر، لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد
Sedangkan
pengembangan dimensi akidah melalui pewarisan amal shalih kepada keluarga dan anak-cucu,
sehingga menjadi tradisi turun-temurun. Oleh sebab itu, apabila kita memiliki
putra-putri yang berusia 7 tahun, wajib mendidik dan melatih mereka untuk
mendirikan shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan hingga berpakaian yang menutup
aurat.
Demikian
halnya, tradisi amal shalih khas bulan suci Ramadhan dan lebaran Idul Fitri,
seperti megengan saat menyambut Ramadhan dan kupatan saat mengakhiri puasa 6
hari Syawwal; ziarah kubur ke makam leluhur pada awal dan akhir Ramadhan, serta
bersilaturrahim (halal bi halal) dengan sanak famili, terutama sungkem dengan
kedua orangtua, mertua dan guru; menghidangkan makanan terbaik untuk
menghormati tamu saat momen lebaran; menghadiahkan uang untuk menggembirakan
anak kecil maupun orang dewasa yang membutuhkan, seperti kemenakan, paman-bibi,
anak yatim dan fakir miskin; membeli pakaian baru untuk diri sendiri,
sanak-famili maupun orang lain yang membutuhkan, sebagai ungkapan rasa syukur
karena telah dianugerahi usia dapat menjumpai lebaran Idul Fitri.
Semua
tradisi amal shalih tersebut, baik yang bersifat wajib seperti shalat lima
waktu; maupun yang bersifat sunah, seperti berhalal bi halal; hendaknya kita
wariskan kepada generasi berikutnya, agar kita mendapatkan pahala berkelanjutan
(pahala jariyah) dari tradisi amal shalih yang turun-temurun tersebut, sebagaimana
sabda Nabi SAW yang termaktub dalam kitab Shahih Muslim:
مَنْ
سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ
مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ (رواه
مسلم).
Barangsiapa
mentradisikan dalam Islam, suatu tradisi yang bagus; lalu tradisi tersebut
dilestarikan sepeninggalnya, maka dia dianugerahi pahala sebagaimana pahala
orang yang melestarikannya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang
melestarikan tersebut (H.R. Muslim).
Ibarat
kata, pahala orang yang mengamalkan tradisi amal shalih tersebut difotokopi,
kemudian diberikan (dishare) kepada kita; sehingga kita mendapatkan
pahala yang sama, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang tersebut.
الله
اكبر الله اكبر الله اكبر، لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد
Kedua,
Menyucikan dimensi syariah melalui ilmu yang terpercaya, seperti fikih empat
mazhab. Terlebih dalam masa pandemi seperti sekarang, kita boleh memilih
pendapat ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) yang mudah
dilaksanakan dan mendatangkan kemaslahatan. Contoh terkait ibadah adalah shalat
memakai masker dalam kondisi normal dihukumi makruh, karena Nabi SAW melarang
menutup mulut saat shalat. Akan tetapi, dalam kondisi pandemi, boleh mendirikan
shalat dengan memakai masker, bahkan dianjurkan, karena terdapat kebutuhan yang
sah menurut syariat Islam (al-hajat al-syar’iyyah). Demikian halnya,
Nabi SAW memerintahkan kita untuk meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat
jamaah. Akan tetapi, dalam kondisi pandemi, boleh mendirikan shalat jamaah
dengan shaf yang berjarak; dan kita sama sekali tidak kehilangan fadhilah
shalat jamaah, karena memang terhadap kebutuhan yang sah menurut syariat Islam.
Sedangkan
contoh terkait muamalah, baik ulama dari PBNU maupun MUI Pusat, sama-sama
membolehkan umat muslim untuk menggunakan vaksin AstraZeneca dari Korea Selatan
yang disinyalir mengandung unsur babi. Menurut PBNU, vaksin AstraZeneca dinilai
halal, sehingga boleh digunakan dalam keadaan normal, apalagi darurat.
Sedangkan MUI Pusat menilai vaksin AstraZeneca berstatus najis, tapi boleh
digunakan dalam kondisi darurat seperti sekarang, sesuai Kaidah Fikih:
الضَّرُوْرَاتُ
تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Kondisi darurat membolehkan
perkara-perkara yang haram.
Demikian
halnya, dalam kondisi normal, pemerintah memberi kebebasan penuh kepada rakyat
Indonesia untuk melakukan mudik lebaran, takbir keliling, halal bi halal, open
house, dan aktivitas khas lebaran lainnya. Namun, dalam kondisi pandemi,
pemerintah membatasi aktivitas-aktivitas tersebut. Terlepas dari pro-kontra di
tengah masyarakat, setidaknya kebijakan tersebut merupakan hasil ijtihad
pemerintah untuk mengurangi risiko penyebaran virus secara masif; selaras
dengan Kaidah Fikih,
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menampik keburukan,
lebih diutamakan dibandingkan meraih kebaikan.
Kaidah Fikih tersebut juga dapat dijadikan sebagai
landasan untuk tidak melakukan jabat tangan saat bersilaturrahim atau
berhalal-bi-halal, terutama jika melibatkan lansia dan anak-anak yang rentan
terpapar virus, karena imunitasnya tergolong lemah. Apalagi Rasulullah SAW
melarang umat muslim dari perbuatan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun
orang lain, melalui sabda beliau:
لاَ
ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ (رواه ابن ماجه).
Tidak boleh
membahayakan diri sendiri maupun orang lain (H.R. Ibn Majah).
Semoga
segenap ikhtiar positif pemerintah dan rakyat Indonesia untuk mengatasi
pandemi, berdampak positif pula, sehingga momen lebaran tahun berikutnya, dapat
kembali berjalan normal.
الله
اكبر الله اكبر الله اكبر، لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد
Selanjutnya
mengembangkan dimensi syariah melalui aktivitas belajar-mengajar dan
pengamalan-pengalaman. Sepanjang bulan Ramadhan, majlis ta’lim semarak
dilaksanakan di berbagai masjid, mushalla dan pesantren; baik setelah shalat
Shubuh, jelang waktu berbuka maupun setelah shalat Tarawih. Jika kita rutin
mengikuti berbagai majlis ta’lim, maka akan muncul perasaan rendah hati (tawadhu’),
karena menyadari begitu banyaknya ilmu pengetahuan yang belum atau tidak kita
ketahui. Sikap tawadhu terkait ilmu, disimbolkan oleh doa Rasulullah SAW
yang diabadikan dalam al-Qur’an,
رَبِّ
زِدْنِي عِلْمًا (طه: 114).
Tuhanku, mohon
tambahkanlah ilmu kepadaku
(Q.S. Thaha [20]: 114).
Di sisi
lain, tanggung-jawab kita setelah mendapatkan ilmu adalah mengamalkannya.
Sedangkan setengah dari pengamalan ilmu adalah mengajarkannya. Dalam hal ini,
Rasulullah SAW memotivasi:
مَنْ
دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ (رواه مسلم).
Barangsiapa menunjukkan
pada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana orang yang melakukannya (H.R. Muslim).
Setengah
berikutnya dari pengamalan ilmu adalah mengamalkannya sendiri, sehingga menjadi
pengalaman pribadi. Al-Qur’an menginformasikan bahwa perpaduan yang terbaik dan
cepat diterima oleh Allah SWT, adalah ilmu yang bagus dan ditindak-lanjuti amal
yang bagus pula,
إِلَيْهِ
يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ (فاطر: 10).
Kepada-Nya-lah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya (Q.S. Fathir [35]: 10).
Semakin banyak dan bermutu amal yang kita lakukan, insya
Allah, semakin mulia di sisi Allah SWT,
وَلِكُلٍّ
دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (الأنعام:
132).
Dan masing-masing orang
memperoleh derajat-derajat sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu
tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (Q.S. al-An’am [6]: 132).
الله
اكبر الله اكبر الله اكبر، لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد
Ketiga,
Menyucikan dimensi akhlak melalui pembiasaan positif. Bagi kita yang tidak
terbiasa berpuasa, tentu awal-awal Ramadhan terasa berat menahan lapar dan
dahaga selama seharian. Akan tetapi, seiring waktu, akhirnya kita terbiasa
berpuasa. Terbukti, kita sukses berpuasa selama sebulan penuh. Demikian halnya,
Rasulullah SAW menyatakan bahwa shalat yang paling sulit untuk dilakukan adalah
Isya’ dan Shubuh. Akan tetapi, di bulan Ramadhan, kita terbiasa melakukan
shalat jamaah Isya’ dan Shubuh, sehingga kedua shalat tersebut tidak lagi terasa
berat, bahkan terasa ringan.
Demikian
halnya, pada bulan Ramadhan kita dilatih untuk mengonsumsi makanan-minuman yang
halal. Seandainya kita berpuasa, tapi sahur atau berbuka dengan menu yang
haram; niscaya puasa tersebut hanya bernilai lapar dan dahaga, tanpa ada
pahala. Selain itu, Rasulullah SAW memberikan tips-tips khusus terkait menu yang
thayyib atau bagus bagi tubuh saat buka puasa, yaitu ruthab
(kurma basah); tamar (kurma kering); air putih; makanan alami yang
manis, seperti buah; dan makanan buatan yang manis, seperti kolak. Di sisi
lain, kita pun membiasakan diri untuk berderma wajib seperti zakat; maupun
sunah seperti berbagi menu buka puasa, sehingga pelan-pelan dapat mengikis
sikap kikir dan mengembangkan sikap dermawan.
Kebiasaan-kebiasaan
positif itulah yang seharusnya kita lanjutkan setelah bulan suci Ramadhan,
sebagaimana pesan Rasulullah SAW:
وَإِنَّ
أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ (رواه البخاري).
Sesungguhnya amal yang
paling dicintai Allah adalah amal yang konsisten (ajeg; istiqamah), meskipun
hanya sedikit (H.R. al-Bukhari).
الله
اكبر الله اكبر الله اكبر، لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد
Sedangkan
mengembangkan dimensi akidah melalui keteladanan (uswatun hasanah).
Jelasnya, jika kita membiasakan diri melakukan amal shalih selama
bertahun-tahun, maka akan tiba saatnya kita tidak lagi sekadar memberi contoh,
melainkan sudah menjadi contoh. Inilah yang disebut uswatun hasanah atau
teladan yang baik, sebagaimana keteladanan Rasulullah SAW:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ (الأحزاب: 21).
Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (Q.S. al-Ahzab [33]: 21).
Atas
dasar itu, mari kita memilih amal shalih yang kita jadikan sebagai kebiasaan
sehari-hari yang dilakukan secara istiqamah selama bertahun-tahun; hingga
akhirnya kita identik dengan amal shalih tersebut. Misalnya, setiap kali kita
mendengar nama Uwais al-Qarani, pikiran kita langsung mengingat beliau sebagai
orang yang sangat berbakti kepada orangtua; sampai-sampai rela berkorban tidak
dapat berjumpa langsung dengan Rasulullah SAW, demi menjaga sang ibu yang sudah
lansia, buta dan lumpuh. Kendati tidak sempat bertemu secara langsung dengan
Rasulullah SAW, justru Rasulullah SAW memuji perbuatan Uwais al-Qarani tersebut
dan meminta Sayyina ‘Umar ibn al-Khaththab RA dan ‘Ali ibn Abi Thalib RA
agar mengirimkan salam beliau kepada Uwais al-Qarani.
Demikian
halnya ketika mendengar nama Nabi Yusuf AS. Pikiran kita langsung mengingat
beliau sebagai sosok pemaaf. Kendati pernah dibuang ke sumur kering oleh
saudara-saudara tirinya, sehingga terpaksa harus menjadi budak saat di Mesir.
Lalu mengalami fitnah dengan istri majikan beliau hingga dijebloskan ke
penjara. Pada akhirnya, Nabi Yusuf AS memaafkan saudara-saudara tirinya
tersebut, bahkan memohonkan ampunan kepada Allah SWT, melalui ucapan yang
diabadikan dalam al-Qur’an,
قَالَ
لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ
الرَّاحِمِينَ (يوسف: 92).
Dia (Yusuf) berkata: “Pada
hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu),
dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang” (Q.S. Yusuf [12]: 92).
الله
اكبر الله اكبر الله اكبر، لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد
Pada
akhirnya, mari kita bersama-sama memanjatkan doa khusus lebaran:
جَعَلَنَا
الله مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ وَالْمَقْبُوْلِينَ، كُلُّ عَامٍ
وَاَنْتُمْ بِخَيْرٍ.
Semoga
pada lebaran ini, kita dapat menyucikan dan mengembangkan dimensi akidah,
syariah dan akhlak kita; sehingga tergolong sebagai orang-orang yang kembali
suci, meraih kesuksesan duniawi-ukhrawi dan seluruh amal shalih kita dinilai
sebagai amal yang ikhlas dan diterima oleh Allah SWT. Serta kita diberi
kesehatan jasmani dan ruhani, agar dapat kembali berjumpa dengan lebaran Idul
Fitri tahun mendatang dalam keadaan normal tanpa wabah. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
إنَّ
أَحْسَنَ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ اَلْمَلِكِ الْعَلاَّمِ. وَاللهُ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى يَقُوْلُ وَبِقَوْلِهِ يَهْتَدِى الْمُهْتَدُوْنَ. وَإِذَاقُرِئَ
الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ. أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ
اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالْآَخِرَةُ
خَيْرٌ وَأَبْقَى. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِىْ الأيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الأيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ،
وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.
أَقُوْلُ قَوْلِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُاللهَ لِىْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ
الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُالرَّحِيْمُ.
الخطبة
الثانية
اَللهُ
أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ.
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ
أَكْبَرُ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ
الْحَمْدُ. اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ
اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلاً. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ
إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ
وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ،
اَللهُ أَكْبَرُ وَ للهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ
للهِ ثُمَّ الْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ كَثِيْراً وَالله أَكْبَرُ كَبِيْرًا،
وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. اَلله أَكْبَرُ مَا ذَكَرَهُ
الذَّاكِرُوْنَ، اَلله أَكْبَرُ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ. اَلله
أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْراً، لَهُ الْحَمْدُ -سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى- كَمَا يُحِبُّ وَيَرْضَى، حَمْدًا نَلْقَى بِهِ أَجْرَى وَيَمْحُوْا
بِهِ اللهُ عَنَّا وِزْراً. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ التَّامَانِ اْلأَكْمَلاَنِ
عَلَى الْمَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، سَيِّدِ اْلأَوَّلِيْنَ
وَالآخِرِيْنَ، إِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَقَائِدِ الْغُرِّ الْمُحَجَّلِيْنَ إِلَى
جَنَّاتٍ نَعِيْمٍ، سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم اَلصَّادِقِ
الْوَعْدِ اْلأَمِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ أَجْمَعِيْنَ وَعَلَى مَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ الله
الصَّالِحِيْنَ.
اَشْهَدُ
اَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَقَالَ الله تَعَالَى: إِنَّ
الله وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ
اَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى
سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ. وَبَارِكْ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ. فَي
الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَتَرَضَّوْا عَلَى الصَّحَابَةِ
الْكِرَامِ، مَنْ خَصَّ مِنْهُمْ بِالذِّكْرِ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ
وَعَلِيِّ وَعَلَى سَائِرِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَ اللهِ: اُوْصِيْنِي
وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ. اِتَّقُوْا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ
إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. أَمِيْن:
0 Comments